Talk show Fenomena Generasi Z

Hari, Tanggal :Sabtu 26 November 2016

Pukul                :08.00- 12.o0

Tempat            : Ruang Seminar UP45

 

generasi-z-rev-2-11-malam

KEBERMANFAATAN IAYP TERHADAP AKREDITASI INSTITUSI

MAHASISWA PESERTA IAYP & MAHASISWA PSIKOLOGI UP45 BERGOTONG-ROYONG MEMPERJUANGKAN AKREDITASI INSTITUSI
Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Akreditasi institusi di Indonesia adalah strategi Pemerintah Indonesia untuk menjamin agar hasil (output) berbagai lembaga akademik sesuai dengan standar dan mutu yang telah ditetapkan pemerintah. Sebelum ada peraturan akreditasi ini, hasil dari lembaga akademik sangat bervariasi kualitasnya. Dampaknya adalah tidak sedikit anggota masyarakat yang kecewa karena kualitas perguruan tinggi yang dipilihnya tidak sesuai dengan harapannya. Berdasarkan nilai akreditasi inilah masyarakat kini bisa memutuskan perguruan tinggi mana saja yang paling sesuai dengan harapannya. Di sisi lain, dengan adanya ketentuan akreditasi institusi ini maka civitas akademika perguruan tinggi berlomba-lomba memperbaiki kinerjanya sehingga nilai akreditasinya tinggi dan dapat menarik banyak mahasiswa. Jadi akreditasi institusi ini berfungsi ganda yaitu melindungi masyarakat dari perguruan tinggi abal-abal dan sekaligus memotivasi perguruan tinggi untuk menaikkan kinerjanya.

Read more

KONSEP KELUARGA TELADAN DI KALANGAN REMAJA


RADIO EMC YANG PEDULI PADA PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KELUARGA – MINGGU KE-42
Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Konsep keluarga teladan yang ada pada benak orang-orang adalah potret bapak, ibu, dan anak yang keren. Bapak dipersepsikan bertanggung jawab, berwibawa, disayangi keluarga, mencukupi semua kebutuhan anggota keluarga. Kalau sore hari maka bapak akan diperlihatkan sebagai figur yang sedang membaca koran, dan di sampingnya ada pisang goreng dan kopi. Ibu dipersepsikan sebagai figur yang penuh kasih, melayani keluarga dengan sepenuh hati, sibuk di dapur, menunggui suami di teras rumah pada sore hari sambil merenda. Selanjutnya dua anak yaitu perempuan sebagai adik dan laki-laki kakaknya. Adik perempuan akan dilindungi oleh kakaknya yang laki-laki. Prestasi belajar kedua anak di sekolah adalah juara. Mereka berdua juga taat beribadah. Kalau mau berangkat sekolah, pasti cium tangan orangtua terlebih dahulu. Kira-kira seperti itulah gambaran keluarga ideal menurut banyak orang, termasuk remaja. Salahkah gambaran keluarga ideal itu?

Gambaran tentang keluarga ideal itu sama sekali tidak keliru. Persoalan yang muncul adalah gambaran keluarga ideal itu sering tidak terjadi. Hal-hal yang mungkin terjadi adalah:
§  Bapak mungkin saja berada di kota lain karena alasan pekerjaan. Dampaknya, tidak ada gambar bapak membaca koran di sore hari sambil makan pisang goreng dan minum kopi.
§  Ibu mungkin saja bekerja sebagai TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di luar negeri, sehingga tidak ada figur ibu yang menunggui anak belajar.
§  Anak-anak ditunggui oleh kakek dan nenek yang sudah lansia, sehingga pengawasan terhadap perkembangan anak kurang diperhatikan.
§  Anak mungkin saja tidak menjadi juara, dan prestasi akademiknya biasa-biasa saja. Untuk menambah nilai akademik, sepulang sekolah anak langsung mengikuti les ini dan itu.
Gambaran keluarga teladan tesebut sangat mungkin kurang dipahami oleh anak-anak remaja masa kini. Mereka tergolong sebagai generasi Z, yang sangat bergantung pada perangkat elektronik. Pola komunikasinya yang dialami sehari-hari menggunakan gadget, termasuk berkomunikasi dengan orangtuanya. Anak menjadi tidak terbiasa berkomunikasi tatap muka, sehingga kemampuan interpersonalnya menjadi buruk. Meskipun satu rumah, mungkin saja anak berangkat ke sekolah tanpa diantar orangtua. Pola sarapannya pun mungkin terlantar.
Menghadapi kenyataan-kenyataan yang tidak sesuai dengan gambaran keluarga teladan itu, maka anak-anak remaja perlu dipersiapkan. Orangtua adalah pihak yang paling bertanggung jawab terhadap kesiapan anak-anaknya ketika keluarganya tidak sesuai dengan konsep keluarga teladan. Persiapan orangtua antara lain:
  • Memberikan penjelasan tentang keterbatasan orangtua dalam memberikan semua kebutuhan anak-anaknya.
  • Orangtua juga perlu memberikan pengertian tentang pekerjaannnya beserta konsekuensi pada keluarga. Salah satu konsekuensi itu adalah ketidakhadirannya dalam berbagai acara sekolah dan keluarga, bila pekerjaan orangtua sebagai TKI. Status pekerjaan orangtua sebagai TKI itu hanya satu contoh saja, sebab masih banyak pekerjaan lain yang mana orangtua tidak mampu terus mengikuti acara-acara sekolah dan keluarga. Profesi itu misalnya sopir bis antar kota antar propinsi, militer yang sering berpindah-pindah lokasi pekerjaan, pengusaha yang sering bepergian ke luar kota untuk menjual barang-barang, dan sebagainya.
  • Orangtua perlu mendidik anak untuk mempunyai regulasi diri yang kuat. Regulasi diri yang kuat akan membuat anak mampu bertindak sendiri dengan bertanggung jawab, tanpa perlu ikut-ikut temannya.
Diskusi tentang keluarga teladan kali ini dimotori oleh dua narasumber keren yaitu Bapak Andri Azis dan Ibu Diska. Bapak Andri Azis adalah dosen Teknik Minyak UP45, dan sekarang sedang menempuh studi S3 di UGM, jurusan Filsafat. Beliau memang pakar filsafat tidak ada duanya di UP45. Kuliah-kuliah beliau selalu dipadati mahasiswa, karena penjelasannya memang menarik. Kadang kala kuliahnya diisi dengan film yang inspiratif. Ibu DIska juga dosen Teknik UP45. Selain sebagai dosen, beliau juga menjabat sebagai staf di CDC (Career Development Center) UP45.
Diskusi tentang konsep keluarga teladan itu adalah tema diskusi di Radio EMC Yogyakarta pada 24 Mei 2016. Nama acara itu adalah PEKA (Peduli Keluarga). Lancarnya acara ini merupakan bukti implementasi kerjasama yang harmonis antara Radio EMC Yogyakarta dengan Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta. Acara ini sudah memasuki minggu ke-42. Semoga kerjasama ini terus berlangsung karena dapat memberi inspirasi masyarakat Yogyakarta.

MAMPUKAH MAHASISWA INDONESIA MENGGUNAKAN BAHASA INDONESIA DENGAN BAIK & BENAR?


KEGIATAN PELAYANAN MASYARAKAT PARA DOSEN
PSIKOLOGI UP45 DI RRI, MINGGU KE-172
Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Kemampuan berbahasa adalah sangat penting, yaitu untuk berkomunikasi, serta menyampaikan pendapat, informasi, pemikiran, ide, dan perasaan kepada pihak lain. Bahkan kemampuan berbahasa ini dapat untuk mempersatukan suatu bangsa. Bayangkan, bila masyarakat pada suatu bangsa mempunyai tiga bahasa dan bangsa tersebut akhirnya terpecah menjadi tiga karena setiap bagian masyarakat tidak saling memahami. Jadi kemampuab berbahasa bisa menjadi boundary atau batas suatu wilayah, seperti halnya keberadaan sungai, gunung, dan batas geografi lainnya. Dalam konteks bahasa Indonesia, semua lapisan masyarakat Indonesia hendaknya mampu berbahasa Indonesia. Hal ini berkaitan dengan persatuan. Bangsa yang mengakui satu bahasa sebagai bahasa resmi maka bangsa itu akan bersatu.

Berkaitan dengan kemampuan berbahasa, khususnya bahasa Indonesia, maka semua orang di Indonesia yang mengakui bahwa Indonesia adalah negaranya, maka mereka juga harus bisa berbahasa Indonesia. Kenyataan yang ada, banyak orang yang mengaku orang Indonesia namun tidak mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Padahal mereka sama sekali tidak buta huruf bahkan berpendidikan tinggi. Mereka bahkan mampu berbahasa Inggris, Arab, dan bahasa asing lainnya dengan fasih. Selain itu, mereka juga tidak berpindah-pindah tempat tinggal dan hanya berada di Indonesia saja sehingga logatnya seharusnya juga seperti biasa (tidak berlogatkan bahasa asing).
Apa indikator orang-orang Indonesia tidak mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar? Sederhana saja, orang-orang tersebut sering menyisipkan istilah-istilah asing dalam ucapan-ucapannya dan tulisan-tulisannya. Mereka berasumsi bahwa pembaca dan pendengar pasti mempunyai kemampuan bahasa seperti penulis / pembicara itu. Ini adalah fenomena dalam psikologi sosial yang mana menganggap semua orang pasti mempunyai kemampuan bahasa seperti dirinya. Padahal kenyataannya, tidak semua orang mempunyai kemampuan seperti halnya penulis tersebut.
Apakah memasukkan istilah asing itu haram hukumnya dalam sebuah tulisan? Sebenarnya memasukkan istilah asing dalam suatu tulisan / pembicaraan, adalah tidak haram, bila istilah asing terebut dapat memperjelas ide yang ditawarkan. Istilah asing tersebut hendaknya dicarikan padan kata yang sesuai dalam bahasa Indonesia. Gunanya adalah untuk memperkaya pengetahuan kita semua dalam berbahasa Indonesia. Kita harus mengakui bahwa bahasa Indonesia memang bahasa yang sedang berkembang, sehingga membuuthkan kata-kata serapan dari bahasa asing lainnya.
Ketrampilan berbahasa Indonesia yang baik dan benar, hendaknya juga dikuasai oleh para mahasiswa. Hal ini karena mahasiswa adalah bagian dari generasi emas, yang kelak akan menjadi pemimpin negeri. Bila pemimpin negerinya mampu berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, maka rakyatnya juga akan meniru pemimpinnya. Hal ini akan memperkuat rasa persatuan Indonesia.
Bagaimana cara belajar bahasa Indonesia dengan cepat bagi para mahasiswa? Sederhana saja, mulailah dengan mengerjakan tugas-tugas kuliah, dan tulislah tugas-tugas tersebut dengan kalimat yang lengkap. Kalimat lengkap artinya kalimat tersebut mempunyai SPO/K atau Subjek, Predikat Objek / Keterangan. Pada awalnya, mendisiplinkan hal itu sangat sulit. Kiat sederhana untuk membuat kalimat yang lengkap adalah dengan membuat kalimat yang pendek. Kalimat pendek akan memaksa kita untuk patuh pada rumus SPO/K.
Pembahasan tentang kemampuan berbahasa Indonesia di kalangan generasi muda ini adalah topik diskusi di RRI Yogyakarta pada 26 Oktober 2016. Diskusi ini merupakan implementasi kerjasama antara RRI Yogyakarta dan Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta. Kerjasama tersebut sudah memasuki minggu ke-172. Dikusi kali ini diikuti oleh dua dosen yang keren yaitu Febri, dosen muda yang baru saja lulus S2 Kependudukan UGM. Dosen selanjutnya yaitu Faizal, seorang pakar komunikasi. Ia baru saja lulus S2 dari UGM juga. Semoga kerjasama yang bagus ini terus berlangsung.

PERENCANAAN PROGRAM KEGIATAN YANG REALISTIS MENUJU ORGANISASI YANG SEHAT


TAMU PSIKOLOGI UP45 UNTUK MENDUKUNG PENATAAN
ORGANISASI YANG SEHAT
Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Agar organisasi bisa mencapai tujuannya, maka diperlukan perencanaan dan target kegiatan yang matang. Perencanaan dan target kegiatan tersebut harus tersusun berdasarkan kaidah SMART. SMART tersebut sebenarnya merupakan singkatan yaitu Specific, Measureable, Achieveable, Relevant, dan Time frame. Berikut penjelasan secara lebih rinci:
  1. Specific / khusus. Hal itu berarti bahwa perencanaan dan target harus disusun secara jelas dan khusus. Jangan sampai perencanaan dan target disusun secara umum, sehingga pengelola organisasi menjadi bingung / tidak terarah. Berikut adalah contoh perencanaan yang sifatnya umum dan khusus.
§  Umum = meningkatkan kualitas dosen.
§  Khusus = meningkatkan kualitas dosen dalam bidang penelitian.

  1. Measurable / terukur. Hal ini berarti perencanaan dan target hendaknya dapat diukur secara kuantitatif dalam hal waktu, prosentasi, jumlah, dan sebagainya. berikut adalah contoh perencanaan yang dapat terukur dengan jelas.
§  Minimal setiap dosen melakukan satu kali penelitian / tahun.
  1. Achieveable / dapat dicapai. Perencanaan hendaknya dapat dicapai berdasarkan pembandingan dengan pencapaian sebelumnya. Selanjutnya perencanaan juga harus mempertimbangkan keterbatasan kondisi yang mendukung. Keterbatasan itu antara lain mencakup sedikitnya SDM yang ada. Perencanaan hendaknya tidak terlalu muluk, sehingga sulit / tidak mungkin dicapai. Dalam hal ini perlu adanya identifikasi hambatan-hambatan yang ada. Contoh perencanaan yang achieveable yaitu:
§  Setiap dosen minimal melakukan penelitian 1 kali / tahun (sesuai dengan target dari Dikti). Jumlah dosen pada Prodi Psikologi UP45 ada 6, sehingga ada 6 penelitian / tahun. Oleh karena 2 dosen menduduki jabatan struktural (dekan dan kaprodi), maka dalam prodi ada 4 penelitian / tahun.
  1. Relevant / sesuai. Perencanaan hendaknya sesuai dan mendukung / selaras dengan sasaran pada level yang lebih tinggi. Level yang lebih tinggi yaitu fakultas / universitas. Contoh perencanaan yang sesuai adalah:
§  Penelitian yang dilakukan dosen pada Prodi Psikologi UP45 hendaknya mendukung visi dan misi Fakultas Psikologi dan Universitas Proklamasi 45 yaitu penelitian yang relevan dengan dunia migas / energi.
  1. Time frame / jangka waktu. Perencanaan hendaknya memuat jangka waktu tertentu pencapaiannya. Adanya waktu tertenu untuk pencapaiannya akan membuat pelaksana bergegas / merasa dikejar oleh waktu. Contoh perencanaan yaitu:
§  Dosen melakukan penelitian 1 kali / tahun. Pada semester pertama, proposal penelitian hendaknya sudah selesai, dan semester kedua proses pengambilan data. Pada akhir tahun penelitian sudah selesai dan sudah dipresentasikan.
Selain memperhatikan kaidah SMART, perencanaan hendaknya juga memuat 4 dimensi. Empat dimensi tersebut adalah finansial, coustemer (pengguna), proses, pertumbuhan dan perkembangan. Berikut adalah penjelasan pada setiap dimensi tersebut.

Dimensi finansial. Penelitian yang akan dilakukan dosen terebut, sumber dananya dari mana saja. Bila penelitian itu bersumber dari dana sendiri, maka dana tersebut harus digunakan secara efektif. Sebagai contoh, jumlah asisten peneliti hendaknya tidak terlalu banyak, sehingga budget dana penelitian tidak habis untuk gaji asisten peneliti.
Dimensi coustemer / pengguna. Hasil penelitian ini akan diterapkan kepada siapa saja. Penelitian yang komprehensif adalah penelitian yang berdampak luas. Mahasiswa juga menerima manfaat yaitu mendapatkan bukti nyata antara teori dan praktek. Selain itu hasil penelitian juga dapat untuk memperluas pengetahuan mahasiswa. Masyarakat sebagai sasaran utama penelitian, jelas mendapatkan manfaat nyata. Manfaat bagi masyarakat adalah persoalan masyarakat terpecahkan.
Dimensi proses. Penelitian yang dilakukan dosen tersebut juga melibatkan mahasiswa. Tujuannya adalah mempercepat proses pembuatan skripsi mahasiswa yang selama ini sering tertunda-tunda. Mahasiswa mengetahui secara jelas dan nyata tentang langkah-langkah penelitian, berikut penggunaan dana penelitian. Selanjutnya, penelitian ini juga melibatkan pihak eksternal / dosen dari perguruan tinggi lainnya. Hal ini untuk memenuhi proses kerjasama dengan pihak eksternal.
Dimensi pertumbuhan dan perkembangan. Penelitian yang dilakukan dosen juga sangat berguna untuk mengembangkan kualitas dosen. Pengemabngan kualitas dosen dapat terlihat dari partisipasinya dalam seminar nasional / internasional untuk mempresentasikan hasil penelitiannya. Selain itu, hasil penelitian yang terpublikasikan secara luas itu merupakan bahan promosi Prodi, sehingga jumlah mahasiswa baru akan meningkat lebih banyak.

Penyusunan rencana kegiatan Prodi, Fakultas, Univesitas, dan unit kegiatan lainnya ini adalah kegiatan pelatihan yang diadakan oleh bagian SDM UP45. Pemateri pelatihan adalah Drs. Tri Handoyo Budi Utomo, MA, dari Lembaga Hasko Persona Yogyakarta yang bergerak dalam bidang Human Resource Management Consultant. Acara ini berlangsung dua hari yaitu 10-11 Agustus 2015, mulai dari pukul 08.00-16.00. Hasil akhir dari pelatihan adalah setiap unit kegiatan mampu membuat perencanaan yang SMART. Semoga pelatihan yang sangat berguna ini akan semakin sering dilakukan di UP45, dengan materi-materi yang beragam. Semua ini dilakukan untuk membuat nama Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta semakin berkibar baik di tingkat daerah, nasional, maupun internasional. Semoga terlaksana harapan itu.

PERAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN UNTUK MEMBUAT SITUASI BELAJAR MENJADI MENYENANGKAN


TAMU PSIKOLOGI UP45 MEMERIAHKAN KULIAH UMUM UNTUK SAMBUT
TAHUN AJARAN BARU 2016/2017
Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Belajar adalah situasi yang mungkin saja tidak menyenangkan pada orang-orang. Hal ini karena belajar pada hakekatnya adalah indvidu berusaha untuk menguasai pengetahun dan ketrampilan baru. Melakukan hal-hal baru sangat membutuhkan motivasi tinggi karena individu akan sering mengalami kegagalan yang menyakitkan. Kegagalan yang dialami individu menunjukkan bahwa ia memang belum menguasai strategi untuk menguasai pengetahuan / ketrampilan baru secara cepat.

Belajar juga sangat erat hubungannya dengan pendidikan. Hal ini karena dalam dunia pendidikan, para siswa juga harus menunjukkan perilaku belajar. Perilaku belajar itu antara lain menyangkut perilaku membaca, menulis, berhitung, berpikir, berani mencoba hal-hal baru, dan sebagainya. Dalam psikologi pendidikan, hal-hal yang dipelajari antara lain tentang penyampaian informasi (pengetahuan), cara-cara mengajarkan ketrampilan (skill), dan cara-cara penyampaian nilai-nilai masyarakat / organisasi. Pada proses penyampaian itu, sikap guru terhadap siswa sangat penting. Guru harus mampu menerapkan prinsip-prinsip psikologi pada praktek pembelajaran.

Persoalan yang relevan dengan situasi belajar pada anak-anak adalah guru harus mampu menguasai metode mengajar yang menyenangkan, sehingga anak tidak merasa sedang belajar. Bahkan anak merasa sedang bermain-main. Jadi mengajar bukansekedar memindahkan ilmu yang dimiliki guru kepada anak, namun guru juga harus bisa menanamkan nilai-nilai. Justru pengajaran tentang nilai-nilai inilah yang penting. Pengajaran tentang nilai-nilai ini akan lebih efektif bila guru memberikannya dengan cara yang menyenangkan dan sesuai dengan anak.

Topik tentang belajar dan pendidikan ini adalah topik yang dikemukakan oleh dosen tamu Prof. Dr. Asmadi Alsa, dari Psikologi UGM Yogyakarta. Beliau adalah pakar Psikologi Pendidikan. Kedatangan pakar Psikologi Pendidikan ini terjadi pada 12 Oktober 2016. Semua mahasiswa Psikologi Universitas Proklamasi 45 beserta para dosen hadir dalam pertemuan tersebut. Semoga acara yang bermanfaat bagi proses pembelajaran di Prodi Psikologi UP45 ini akan sering terjadi.

RELEVANSI PENDIDIKAN KARAKTER TERHADAP KESUKSESAN PROSES BELAJAR PADA MAHASISWA


PENDIDIKAN KARAKTER IAYP DI UP45 DIUJI KEBERMANFAATANNYA
Arundati Shinta
Fakultas Psikologi Universitas Proklamasi 45
Yogyakarta
Pendidikan karakter IAYP (International Award for Young People) adalah strategi cerdas yang ditemukan oleh Kurt Hahn (1896-1974) seorang ahli pendidikan dari Jerman. Pendidikan karakter IAYP tersebut atau DoEA (The Duke of Edinburgh’s Award) kini dipimpin oleh HRH The Duke of Edinburgh atau Pangeran Phillip dari Inggris (Belgutay, 2012). Pendidikan karakter IAYP disebut cerdas karena kegiatannya sangat sesuai dengan generasi muda usia 14-25 tahun. Pada usia tersebut, anak-anak muda digembleng dengan berbagai kegiatan yang menuntut munculnya perilaku bertanggung jawab, tidak berperilaku prokrastinansi, mandiri, jujur, dan tekun. Rangkaian kualitas sumber daya manusia unggul itulah yang ingin dimasukkan oleh Kurt Hahn dalam benak dan hati anak-anak muda. Anak-anak muda adalah pemimpin pada masa depan. Oleh karena itu mereka harus dipersiapkan sejak remaja, bahkan kalau memungkinkan sejak masa kanak-kanak.

Apa saja kegiatan IAYP? Kegiatan utama ada tiga yaitu rekreasi dan olah raga, ketrampilan, dan pelayanan masyarakat. Pendidikan karakter IAYP ini ada tiga level yaitu perunggu, perak, dan emas. Untuk level perunggu, kegiatan oelah raga, ketrampilan, dan pelayanan masyarakat masing-masing dilakukan minimal 60 menit/minggu, selama 3 bulan. Kegiatan selanjutnya adalah spesialisasi, yang berupa salah satu dari 3 kegiatan utama tersebut. Kegiatan spesialisasi ini juga dilakukan minimal 60menit/minggu selama 3 bulan. Setelah kegiatan utama usai, maka kegiatan selanjutnya adalah petualangan. Petualangan ini dilakukan selama 2 hari satu malam. Contoh kegiatan petualangan adalah kemping, naik gunung, atau kegiatan luar ruangan lainnya serta dilakukan di luar kota. Pada masa Kurt Hahn masih hidup, maka petualangan yang dilakukan adalah berlayar. Anak-anak muda Jerman harus mempunyai fisik yang bagus kondisinya, dan senang berpetualangan menjelajah negeri. Cobalah bayangkan, apabila kondisi fisik para pemuda Indonesia juga bugar, maka Indonesia akan maju.
Persoalan yang paling sering muncul dalam pelaksanaan kegiatan IAYP adalah peserta sering malas, tidak teratur, dan sering menunda-nunda (prokrastinansi) dalam melakukan kegiatan. Alasan yang paling sering dikemukakan peserta pada leader (pembina peserta) adalah adanya kegiatan kuliah, belajar karena besoknya ada ujian, melakukan praktikum, mengantar ibu ke pasar, dan sebagainya.
Semua alasan adalah benar karena memang dikemukakan untuk membenarkan suatu perilaku. Pada intinya peserta minta dimaafkan karena tidak melakukan 3 kegiatan tersebut secara rutin. Padahal rutinitas adalah dasar pembentukan kebiasaan. Kebiasaan yang dilakukan terus menerus akan membentuk karakter. Bila peserta secara rutin melakukan pelayanan masyarakat, maka ia terbiasa menolong orang lain yang kesusahan, sehingga karakter peduli pada orang yang lemah menjadi terbentuk (melekat) pada diri individu.
Kebiasaan menunda-nunda melaksanakan kegiatan inilah yang menarik untuk diteliti. Penelitian dilakukan oleh Singgih Purwanto, seorang mahasiswa Psikologi Univesitas Proklamsi 45 Yogyakarta. Ia juga peserta program IAYP, dan sudah menyelesaikan pada level perunggu dan perak. Sebagai peserta program IAYP, Singgih juga pernah terlambat melakukan kegiatan. Ia juga menyaksikan puluhan teman-temannya gagal dalam menyelesaikan program pendidikan karakter itu. Singgih menjadi penasaran, mengapa banyak temannya yang gagal dalam menyelesaikan program IAYP, padahal kegiatan-kegiatannya sangat sederhana.
Berbekal penelitian tentang prokrastinansi (Steel, 2007), Singgih mewawancarai 30 teman-temannya di Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta. Hasil wawancara dan penelitiannya menunjukkan bahwa mahasiswa melakukan prokrastinansi karena mereka kurang berhati-hati dalam menatap masa depannya. Mereka kurang mampu berkonsentrasi, tidak mampu membuat perencanaan, dan kurang mempunyai keinginan untuk mencapai sesuatu yang lebih tinggi dalam hidupnya. Singkat kata, mahasiswa yang terbiasa menunda-nunda pelaksanaan suatu tugas, cenderung gagal dalam menyelesaikan kegiatan IAYP. Kebiasaan menunda-nunda kegiatan IAYP ini akan terbawa dalam kehidupan sehari-hari. Mahasiswa akhirnya mempunyai karakter prokrastinansi.
Untuk mengatasi prokrastinansi, maka Singgih menyarankan agar peserta belajar untuk berkonsentrasi, membuat perencanaan kegiatan dan selalu memacu diri untuk mencapai sesuatu yang lebih tingggi (need for achievement). Agar prokrastinansi itu tidak menjadi penyakit kelak di kemudian hari, maka mahasiswa Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta diajak Singgih untuk melakukan kegiatan IAYP dengan bersungguh-sungguh. Mumpung masih mahasiswa, masih muda umurnya, belum berkeluarga, dan belum bekerja, maka pembentukan karakter terpuji harus segera dilakukan, yaitu melalui kegiatan IAYP.

Pada 29 September 2016, Singgih dan 62 temannya telah diwisuda di Hotel Grand Cokro Yogyakarta. Berkat ketekunan dan perilaku tidak menunda-nunda, maka Singgih dinobatkan menjadi salah satu wisudawan dengan predikat cum-laude. Raktor UP45 memberi selamat atas prestasi Singgih yang luar biasa ini. Dalam wisuda tersebut ada 4 teman Singgih yang juga diwisuda. Mereka adalah Romadhon, Nurul Komari Sari Apriliani, Yusna Hanung Purwandari, dan Richanatus Syarifah. Istimewanya, empat sekawan itu juga mengikuti program IAYP meskipun berbeda level. Romadhon dan Nurul sudah menyelesaikan level perak, sedangkan Yusna dan Richanatus sudah menyelesaikan level perunggu. Keistimewaan kedua, mereka berlima lulus tepat waktu yaitu 4 tahun. Ini adalah bukti nyata bahwa program IAYP juga ikut mensukseskan proses belajar mahasiswa.
Wisuda S1 tersebut pada hakekatnya merupakan saat bagi pembuktian bahwa karakter mereka benar-benar telah teruji melalui program IAYP. Ketika mereka bekerja dalam suatu organisasi, maka mereka benar-benar dituntut untuk disiplin mengerjakan tugas, tekun, bertanggung jawab, mandiri, jujur, serta yang penting adalah tidak melakukan prokrastinansi. Semoga program IAYP yang bagus ini tetap dapat terlaksana dengan lancar di Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta.
Daftar Pustaka
Belgutay, J. (2012). Why paper qualifications are no longer enough. Tesconnect, January 27, 2012. Retrieved from
         http://www.tes.co.uk/article.aspx?storycode=6169505
Steel, P. (2007). The nature of procrastination: A meta-analytic and theoretical review of quintessential self-regulatory failure. Psychology Bulletin. 133(1), 65-94